Review Film 'A Taxi Driver': Peran Supir Taksi dalam Membangkitkan Demokrasi di Korea Selatan

by - April 29, 2018

Mumpung masih bulan April dan masih konsisten sama postingan per-korea-an, saya mau menulis tentang A Taxi Driver. Sudah lama banget saya nonton film based on true story ini, yaitu sekitar akhir tahun 2017. Belakangan saya bahkan udah nonton lagi. Sudah lama pula pengen nulis (kalau bahasanya Mbak Teppy sih) review suka-suka. Awalnya yang bikin saya tertarik nonton adalah karena ada aktor Ryu Jun Yeol sebagai salah satu pemerannya dan karena tau film ini ada hubungan sama per-jerman-an. Berbeda dengan film One Way Trip yang juga saya tonton gara-gara Ryu Jun Yeol namun ceritanya menurut saya kurang apik, A Taxi Driver mengejutkan saya dengan jalan cerita yang sangat bagus. Maybe because basically I love the movie that based on true story.

Song Kang Ho, pemeran utama film A Taxi Driver. (pic source)
[SPOILER! ALERT!!]

Kondisi yang digambarkan pada adegan-adegan awal A Taxi Driver adalah kericuhan di Korea Selatan pada tahun 1980. Saat itu terjadi kudeta militer oleh seorang jenderal bernama Chun Doo Hwan dan pembunuhan terhadap presiden yang tengah berkuasa, Park Chung Hee. Jenderal Chun Doo Hwan adalah seorang diktator, ia menerapkan martial law yang sebenarnya ditentang oleh rakyat, banyak perguruan tinggi ditutup, dan ia juga menangkap para pimpinan oposisi. Para mahasiswa dan rakyat pro-demokrasi di kota Gwangju adalah yang paling frontal menentang Chun Doo Hwan. Militer bersenjata pun diturunkan untuk menghadapi perlawanan masyarakat sipil di Gwangju. Bahkan kota itu diblokade, orang tidak dapat dengan mudah keluar masuk Gwangju dan jaringan telepon juga diputus. Wartawan lokal dibatasi sementara wartawan asing dilarang masuk.

Di lain tempat, seorang supir taksi bernama Kim Man Soeb (Song Kang Ho) sedang galau karena harus membayar kontrakan seharga seratus ribu won tapi uangnya belum cukup. Ketika sedang makan siang, ia mendengar percakapan rekan sesama supir taksi, konon ada seorang penumpang WNA yang minta diantar pulang pergi dari Seoul ke Gwangju dan menawarkan upah seratus ribu won. Kim Man Seob langsung tancap gas menuju hotel yang diceritakan menjadi tempat WNA tersebut menanti taksi. Man Seob dan Peter (Thomas Kretschmann) pun berangkat ke Gwangju. Ternyata Jürgen Hinzpeter (alias Peter) adalah wartawan ARD Jerman yang berbasis di Tokyo, ia sengaja datang ke Korea Selatan setelah mendengar kabar tentang kudeta militer dan blokade di Gwangju dari rekan sesama wartawan. Dengan menyamar sebagai misionaris, ia berencana meliput demonstrasi di Gwangju.

Thomas Kretschmann yang memerankan Jürgen Hinzpeter(pic source)
Benar saja, jalan utama dari Seoul menuju Gwangju ditutup dan dijaga tentara. Semula Kim Man Seob hendak menyerah dan membawa penumpangnya kembali ke Seoul. Didorong kebutuhan akan uang seratus ribu won, ia berusaha mencari jalan tikus menuju Gwangju. Ternyata, jalan tikus pun dijaga tentara, namun Kim Man Seob mengelabui para tentara dan berhasil masuk Gwangju. Taksi hijau Kim Man Seob berjalan menyusuri kota yang begitu sepi, toko-toko tutup, dan poster protes terpasang di seluruh penjuru kota. Tiba-tiba, sebuah truk yang ditumpangi para mahasiswa menyalip mereka dan berhenti. Peter pun turun karena ingin merekam kejadian itu. Para mahasiswa begitu senang mengetahui ada wartawan asing yang meliput, mereka berharap apa yang terjadi di Gwangju akan akan diberitakan dengan benar. Disinilah Peter bertemu seorang mahasiswa yang pandai bicara Bahasa Inggris bernama Jae Sik (Ryu Jun Yeol) yang selanjutnya bergabung dengan Kim Man Seob dan Peter, perannya adalah sebagai penerjemah Peter untuk Man Seob.

Demonstrasi di Gwangju digambarkan begitu mengerikan dalam film. Sebuah adegan di rumah sakit menampilkan banyak demonstran yang meninggal atau luka-luka akibat dihajar atau bahkan ditembak para tentara. Rumah sakit penuh sesak oleh para korban. Industri film Korsel ini bener-bener pada niat kalau bikin luka-luka terlihat mengerikan hmm. Para supir taksi di Gwangju berperan menjadi pengantar korban-korban dari lokasi demo ke rumah sakit, for free. Untuk menutupi kekerasan yang terjadi di Gwangju, pemerintah berkedok bahwa militer diturunkan demi keamanan banyak pihak untuk melawan mahasiswa yang memberontak dan pro-komunis. Berita itu pula yang tersebar di luar kota Gwangju, bahwa militer disana melawan pemberontak pro komunis. Hmm...kok jadi inget Indonesia sekarang ini yang kalau ada orang yang nggak sepaham sedikit-sedikit dikatain komunis yaa, ehehe.

Ryu Jun Yeol ketika memerankan Jae Sik.
Dari rumah sakit, Peter, Man Seob, dan Jae Sik beranjak ke sebuah jalan tempat demonstrasi besar sedang berlangsung. Disini ada tuh adegan ketika ibu-ibu membagikan makanan kepada para demonstran, sebuah bentuk dukungan dari kaum ibu. Peter, dkk kemudian naik ke atap sebuah gedung agar dapat merekam kejadian menyeluruh. Ternyata, disana ada seorang wartawan lokal juga yang sedang merekam. Ketika demonstrasi semakin panas dan tentara mulai menembakkan  gas air mata, bahkan beberapa tampak memukuli demonstran, Peter memutuskan untuk turun agar bisa mengambil gambar lebih dekat. Man Seob dan Jae Sik mau tak mau mengikuti. Tak beberapa lama, seorang tentara melihat Peter mengarahkan kamera dan mengejar Peter. Berhasil kabur dan mendapatkan gambar bagus, tiba saatnya bagi Peter untuk kembali ke Seoul. Sayangnya, taksi Man Seob justru mogok yang membuat mereka harus bermalam di rumah seorang supir taksi Gwangju bernama Tae Soo sembari menunggu taksi dibenahi.

Malam itu pula, terjadi pengeboman di sebuah stasiun televisi MBC di Gwangju. Peter memutuskan datang untuk merekam kejadian, malangnya mereka kembali dikejar pasukan keamanan. Penerjemah Jae Sik tertangkap sementara Man Seob dan Peter berhasil melarikan diri. Pasukan kemanan kini tahu ada wartawan asing di Gwangju yang menumpang taksi Seoul, merek pun memburu taksi ber-plat nomor Seoul. By the way, sound effect untuk suara-suara tembakan dan bom di film ini tuh mantap sekali. Sini nonton pake headset aja tetep kedengeran beningnya. Kerusuhan saat demonstrasi juga digambarkan apik sehingga sanggup bikin penontonnya ikutan tegang.

Keesokan harinya, berbekal peta jalan tikus dan plat nomor taksi Gwangju yang diberikan Tae Soo, Man Seob kembali ke Seoul tanpa sepengetahuan Peter dan tuan rumah. Ceritanya doi udah lelah ngurusin demo-demoan. Dalam perjalanan pulang, ia menyaksikan percakapan orang di luar Gwangju yang menyatakan bahwa demonstran Gwangju adalah komunis yang pantas dihajar tentara, sementara ia tahu kenyataanya orang-orang Gwangju justru pro-demokrasi. Hal itu memunculkan pergolakan batin dalam diri Man Seob, antara segera pulang ke rumah atau menjemput Peter dengan harapan rekaman yang dimiliki wartawan Jerman itu membawa kabar yang benar ke dunia internasional. Setelah mampir ke wartel terdekat dan mengabarkan pada putri semata wayangnya jika ia akan pulang terlambat, Man Seob memutuskan untuk kembali ke Gwangju menjemput Peter.

Sampai Gwangju ia mendapati kenyataan bahwa Jae Sik yang semalam tertangkap aparat, telah meninggal dunia dengan penuh luka. Peter dan Tae Soo sedang berada di rumah sakit menangisi kematian Jae Sik. Mereka sadar bahwa tak boleh larut dalam kesedihan karena harus menyelesaikan misi menyiarkan kabar ke seluruh dunia. Akhirnya, Man Seob mengantar Peter kembali ke Seoul. Kali ini mereka tak hanya berdua, beberapa supir taksi dari Gwangju mengantar kepulangan sekaligus mengawal mereka dari buruan tentara. Para supir taksi dari Gwangju ini rela mengorbankan diri menjadi umpan, terkena tembakan-tembakan dari mobil tentara yang mengejar hingga mengalami kecelakaan lalu lintas yang juga mencederai para tentara pengejar. Sehingga Man Seob dan Peter berhasil bebas menuju Seoul.

(pic source)
Di Bandara Internasional Gimpo, Man Seob membantu Peter menyembunyikan gulungan film dalam kaleng kue dan membungkusnya sedimikan cantik hingga petugas bandara segan membuka bungkusan yang dikira oleh-oleh tersebut. Jürgen Hinzpeter berhasil kembali ke Tokyo dan menyiarkan hasil rekamannya kepada dunia. Pemerintah Korea Selatan pun mendapatkan desakan dari warga dan dunia internasional untuk menghentikan kekerasan. Rekaman tersebut juga selanjutnya berperan dalam kebangkitan demokrasi Korea, karena tak lama setelah itu, pemilihan umum dilaksanakan. Hinzpeter juga selanjutnya diceritakan menerima penghargaan dari pemerintah Korsel atas jasanya. Bagian ending ketika Peter membacakan pidato dalam penghargaan ini benar-benar mengharukan, Thomas Kretschmann yang dari awal memerankan wartawan cuek terlihat berkaca-kaca ketika membacakan pidato. Ending-nya sungguh bikin mewek meskipun bukan love story.

Pak Jürgen Hinzpeter yang sebenarnya, muncul di akhir film.
Di akhir film, muncul rekaman Jürgen Hinzpeter yang asli menceritakan tentang keinginannya untuk bertemu kembali dengan supir taksi yang dulu membantunya meliput demonstrasi di Gwangju, namun hingga akhir hayat (meninggal tahun 2016), ia tak bisa bertemu lagi dengan supir taksi itu. Gwangju tahun 1980 tampaknya menjadi bagian paling membekas sepanjang karir jurnalistik Pak Hinzpeter, terbukti ia berwasiat agar jika ia meninggal untuk dimakamkan di Gwangju. Mungkin ia ingin dimakamkan bersama para pejuang demokrasi Republik Korea Selatan.

A Taxi Driver menyabet banyak penghargaan dan meraih 12 juta penonton selama masa penayangannya. Nggak heran sih, para pemainnya emang aktingnya top banget dan pesan yang dikandung film ini menurut saya bisa banget nyampek ke penonton. Dijamin nggak kecewa deh kalau nonton A Taxi Driver!! Kalau dari rentang nilai 1-10, saya pribadi bakal kasih nilai 8 untuk film berdurasi 137 menit yang disutradarai Pak Jang Hun ini. By the way, Pak Song Kang Ho kayaknya emang aktor kawakan di Korea Selatan, soalnya beberapa film beliau emang jalan ceritanya bagus dan nggak asal-asalan. Daebak!

‎29 ‎April ‎2018 13:32
The Duke & The Duchess of Cambridge's 7th Wedding Anniversary

You May Also Like

0 comments