Perkara Memasak
Seminggu lebih berlalu setelah Hari Raya Idul Adha dan baru hari ini saya sempat memasak daging kurban. Tak lain, adalah karena pada Hari Raya kemarin saya dan Ibu sama-sama kurang enak badan hingga beberapa hari selanjutnya. Memasuki weekdays, saya dan Ibu sama-sama sibuk di tempat kerja. Sore ini, barulah saya bisa mengolah daging kurban menjadi...rendang hehe. Di sela-sela menumbuk bumbu-bumbu itulah, ingatan dan pikiran saya terbang kemana-mana, tapi tetap tak jauh dari perkara 'memasak'.
Saya ingat ketika masih siswa baru di SMA, kami ada acara masak-masak di sekolah. Dalam rangka acara Pramuka, mungkin persami, atau MOS Pramuka, entahlah...saya lupa tepatnya. Nah, hari itu regu saya memasak makanan yang sangat sederhana: sop. Mungkin, bagi orang yang terbiasa memasak, atau sedang latihan memasak berbekal resep dari google, memasak sop adalah perkara yang mudah. Tapi, ketika harus memasak sop bersama kawan-kawan satu regu...hahaha beberapa kali sempat terjadi perbedaan pendapat. Perkara pakai minyak atau tidak, bumbunya cukup digeprek atau ditumbuk halus, sayur apa dulu yang dimasukkan, dsb. Saat itu, saya menyadari satu hal: bahwa beda ibu, beda pula cara kami memasak. Sesederhana menu sop sekalipun :)
Terjadi lagi ketika KKN dimana tim kami terbagi dalam enam kelompok memasak. Saat itu, kelompok saya kebagian jatah memasak pertama kali. Mungkin di hari kedua setelah kami tiba di Pulau Seliu. Saat itu, salah seorang teman sekelompok saya sempat bad mood, karena cara memasaknya terus menerus dikomentari oleh kawan-kawan lain yang tidak kebagian memasak. Se-simple cara mengiris, cara menumbuk, dan entah apalagi yang dikomentari hingga membuat dia dongkol. Sekali lagi saya diingatkan, bahwa tiap keluarga pasti memiliki cara masak yang berbeda-beda sekalipun menunya sama. Setiap ibu mungkin punya cara memasak sendiri-sendiri yang berbeda, meskipun tidak signifikan.
Ada juga cerita tentang teman saya yang baru belajar memasak yang kebetulan tinggal bersama kawan yang sudah ahli memasak. Tapi, alih-alih membantu agar teman yang baru latihan itu percaya diri dengan masakannya, si ahli memasak justru mengeluarkan komentar yang agak sinis yang pada akhirnya bikin teman yang sedang berlatih ini jadi sebel sekaligus males masak lagi hahaha. Semoga kita nggak mudah patah semangat dalam belajar memasak dan kalau sudah terbiasa semoga bukan jadi merendahkan pada yang baru belajar yaa, hehe.
Saya pun pernah mengalami ketika cara memasak saya ditegur orang, kenapa menumbuk cabe seperti itu, kenapa tidak seperti ini? Kenapa mengupas bawang pakai pisau kalau pakai tangan saja bisa? Kenapa nggoreng ikan seperti itu, bukannya mestinya seperti ini? Kadang kritikan akan cara memasak bisa diterima jika memang itu adalah cara yang mungkin lebih baik, lebih efektif. Tapi di sisi lain saya jadi belajar, bahwa setiap orang mungkin punya caranya sendiri-sendiri. Makanya saya jarang berkomentar kalau lihat orang masak. Karena kadang, itu bisa jadi masalah sensitif hehe. Menghargai cara orang lain memasak akhirnya saya tanamkan pada diri saya sendiri.
Lalu, entah bagaimana, pikiran saya melayang ke...gimana rasanya masak bareng ibu mertua yaa? Hehehe. Wahai Ibu mertua, sesungguhnya saya sudah sering belajar memasak bersama Ibu saya. Bersyukur sekali saya punya Ibu yang mendukung saya belajar memasak dan menyampaikan kritikan dengan halus. Tapi Bu, masakan saya seringkali tidak fotogenik. Sepertinya sanya harus lebih giat belajar lagi agar foto masakan saya nggak kalah sama masakan Farah Quinn yaa, Bu. Atau ini karena saya tak punya kamera yang mendukung ya, Bu? Saya juga jarang memasak yang aneh-aneh, Bu, yang sulit dan 'ndakik-ndakik'. Sejauh ini saya memasak menu-menu harian, insyaallah cukup untuk memenuhi gizi anak Ibu sekaligus suami saya dan cucu ibu sekaligus anak saya kelak. Tapi, Bu...bila cara memasak saya mungkin berbeda dengan cara Ibu...mohon bimbingannya, Bu. Oh iya, saya akan sangat senang bila bisa memasak bersama Ibu, semoga saat itu saya tidak gugup yang malah jatuhnya jadi careless ya, Bu. :)
Hehehe...entahlah kenapa endingnya jadi seperti ini.
0 comments