Dermaga, Abadilah dalam Kenangan

by - September 08, 2015

Selama dua bulan tinggal di tanah rantau, ada tempat favorit yang sering saya kunjungi. Ialah dermaga Pulau Seliu, atau masyarakat setempat biasa menyebutnya pangkalan. Tempat kapal-kapal nelayan datang dan pergi, dilengkapi warung-warung kecil yang digunakan orang-orang untuk berkelakar atau main gaple sambil menikmati segelas kopi. Dermaga adalah tempat yang saya datangi ketika siang terik, saya sering menikmati segelas es cincau sambil memandangi aktivitas di dermaga. Dermaga juga saya kunjungi ketika sore cerah untuk menyaksikan sang surya kembali ke paraduannya. Dermaga menjadi tempat favorit para pencari sinyal, sekedar untuk telepon memberi kabar pada keluarga di rumah atau browsing materi. Lebih dari semua itu, bagi saya dermaga adalah tempat untuk sejenak melapaskan diri dari kepenatan di pondokan dan tempat saya mendapatkan quality time, baik bersama warga, pemuda, maupun teman-teman KKN. Ya, deep conversation banyak terjadi di dermaga :')

Sebagai sebuah tempat yang saya datangi hampir setiap hari, bahkan tak jarang baru pulang jam satu dini hari, tentu ada kejadian tak terlupa yang saya alami di dermaga. Saya akan bercerita dua diantaranya.

Kursi di Dermaga Pulau Seliu
Foto oleh: Gregorius Oktaviano, Tim KKN Unit BBL-11

Yang pertama adalah tentang kursi itu. Suatu malam menjelang pagi, sebuah keputusan pernah diambil di kursi itu. Saya duduk di kursi sebelah kiri, saat itu saya dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Lama saya duduk mempertimbangkan pilihan, ditemani segelas Coffeemix panas yang kian menjadi dingin. Boleh dibilang itu adalah malam tergalau saya di Seliu haha. Akhirnya, pilihan pun harus ditentukan. Disaksikan dermaga Pulau Seliu, sebuah keputusan telah diambil. Saya tidak boleh menyesalinya. Malam itu, saya tak segera pulang ke pondokan, saya sholat isya' di masjid yang sudah menjadi sepi sambil sejenak menenangkan diri. Sekembalinya ke pondokan, saya tak bisa tidur sampai pagi. Ya, berat sekali rasanya. Seperti itulah, kadang kita mengabaikan perasaan kita sendiri karena terlalu memikirkan perasaan orang lain yang bahkan mungkin tak peduli pada keberadaan kita di dunia ini. Sometimes, life can be so silly.

Yang kedua adalah tentang malam terakhir saya di Seliu. Saat-saat terakhir seperti itu, tentu saja saya menyempatkan diri mengunjungi dermaga di sela-sela ribetnya packing. Malam itu bulan sedang pada kondisi terbaiknya, purnama. Jenis malam-malam yang indah untuk dinikmati, sekaligus musim yang dibenci nelayan karena ombaknya yang besar. Ini adalah purnama ketiga kami di Seliu. Bulan tampak bulat sempurna di tengah pekatnya langit. Lampu-lampu redup di Seliu membuat bulan begitu terang. Cahaya keperakan jatuh di laut menimbulkan bayangan bulan yang berbentuk seperti jalan. Mangata, demikian bayangan perak itu biasa disebut. Saya berjalan dari gapura Desa Pulau Seliu hingga ujung dermaga. Mendekat pada perahu-perahu besar nelayan Jawa yang tengah singgah. Sepanjang perjalanan, pandangan saya ke arah timur, pada purnama dan mangata. Lalu saya mengunjungi warung Pak Kades untuk terakhir kalinya. Memesan kopi dan men-jamin atau mentraktir beberapa orang pemuda, Mula, Migra, dan Toto. Segelas kopi adalah lamanya kami habiskan waktu malam itu. Tak lama, karena saya harus segera pulang ke pondokan, melanjutkan packing yang belum selesai.

Itulah malam terakhir saya di dermaga, sekaligus malam terakhir si Seliu. Indah. Capture the moment? Of course, bukan dengan kamera handphone atau dengan kamera canggihnya Bang Greg, cukup dengan mata yang merekam setiap detail peristiwa. Purnama, mangata, dan kelakar di warung. Ada kekalutan dalam benak saya, menyadari bahwa esok pagi harus meninggalkan Seliu tercinta. Sekaligus rasa rindu pada keluarga. Campur aduk. Entahlah, sulit dideskripsikan perasaan saya malam itu.

Dermaga Pulau Seliu akan selalu mendapat tempat di hati saya. Kenangan-kenangannya tak akan bisa terlupa. Suara debur ombak dan desir angin di dermaga akan senantiasa terngiang dalam benak sampai akhir hayat. Juga pemandangan purnama ketiga saya di dermaga Seliu yang masih tampak indah terlihat kala saya memejamkan mata. Suatu saat semoga diberi kesempatan untuk kembali kesana, saat itu akankah suasana dermaga masih sama?

Tepat seminggu setelah kepulangan, pada kenyataan
Magelang | 7 September 2015

You May Also Like

0 comments