Tentang Sebuah Perjalanan yang Sempat Tertunda

by - March 30, 2014

Adakah di antaramu yang pernah baca bukunya Tere Liye yang judulnya Rembulan Tenggelam di Wajahmu? Aku pernah, sekitar empat tahun lalu. Salah satu buku yang dari dalamnya aku bisa banyak mengambil pelajaran. Tapi, aku bukan mau mebahas isi buku itu lebih jauh tapi ada kalimat menarik dari buku yang bercerita tentang sesosok pria bernama Ray, yaitu:

"Kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka sebuah kejadian pasti terjadi. Tak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu menggagalkannya. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menginginkannya, maka sebuah kejadian niscaya tidak akan terjadi. Tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu melakasanakannya."

Kalimat itu terdengar begitu benar. Manusia sungguh hanya bisa merencanakan, berusaha mewujudkan, selebihnya sudah mutlak kuasa Allah. Seperti itulah yang terjadi pada kami, beberapa anak manusia yang merencanakan sebuah perjalanan. Beberapa anak manusia yang bernama Harry, Rizqi, Dhita, Ajik, Nurul, Ajeng, dan Zen. Kami merencanakan sebuah perjalanan, mendaki Gunung Api Purba, melihat matahari terbit dari puncaknya bersama-sama. Rencana semula, kami mestinya berkumpul di Jogja tanggal 14 Februari 2014 pada sore hari. Aku dan Zen seharusnya berangkat dari Magelang, Harry sama Dhita dari Solo, lainnya sudah stay di Jogja karena mereka emang udah masuk kuliah.

Tapi sungguh, manusia hanya bisa berencana. Kamis, 13 Februari 2014 sekitar pukul 22.00 Allah menghendaki Gunung Kelud yang terletak di Kediri, Jawa Timur meletus, “mengeluarkan beban beban berat yang dikandungnya”. Hingga Jumat dini harinya, hujan abu dari efek meletusnya Gunung Kelud sampai ke Solo, ke Jogja, ke Magelang, dan sekitarnya. Cukup tebal kawan, cukup menganggu. Hingga subuh itu, kami berkomunikasi lewat pesan singkat, memutuskan menunda perjalanan kami untuk mengejar matahari.

Beberapa teman sempet kecewa, apalagi Ajeng udah packing. Aku berusaha menghibur mereka bahwa pasti nanti ada waktu yang lebih tepat, yang lebih indah. Tapi, tidak sekarang, harus bersabar. Aku sendiri entah kenapa sudah punya firasat perjalanan hari itu bakalan batal, Harry juga demikian, dia ngerasa gak semangat buat berangkat. Jadi aku lebih siap dengan batalnya perjalanan kami. Ah, tertunda lebih tepatnya.

Keadaan Jogja memang ngeri waktu itu. Beberapa teman mengirimkan foto keadaan Jogja setelah hujan abu Gunung Kelud via pesan whatsapp, ada juga yang upload di Twitter. Keadaan diperparah dengan hujan yang tak kunjung datang. Debu vulkanik dimana-dimana. Mengerikan~ Aku bersyukur, kami belum jadi berangkat. Nggak bayangin kalau hujan abu itu terjadi pas kami di tengah pendakian misalnya. Ah iya kan? Pasti ada hikmah di balik semua peristiwa, pasti ada yang bisa disyukuri. Kudu “titen” kalau kata Ayahnya Harry.


Tugu Jogja ketika hujan abu akibat letusan Gunung Kelud 140214


Kampus Fisipol UGM ketika hujan abu akibat letusan Gunung Kelud 140214



…dan ketika Tuhan menghendaki sebuah kejadian terjadi, maka pasti terjadi

Sabtu, 8 Maret 2014
Kami memulai perjalanan itu. Sayang sekali minus Ajik dan Zen, karena mereka sedang punya kesibukan masing-masing :( 

Kami berangkat dari Jogja kota pukul 03.00 dini hari. Iya, sepagi itu demi mengejar matahari :DKatakanlah kami start dari Jalan Kaliurang KM 5. Sebenarnya diantara kami tidak ada yang tahu pasti jalan menuju obyek wisata Gunung Api Purba, hanya modal nekat sama semangat hahah. Aku cuma tahu sampai daerah Gunung Kidul, habis Polsek Patuk itu naik dikit ada plang arah menuju Gunung Api Purba. Iya, Cuma sampai situ selebihnya nggak tahu. Selepas dari plang itu kami sempat tersesat, untung nggak jauh. Kami balik lagi, berbekal insting kami mengikuti jalan yang minim penerangan, tapi cukup bagus jalannya. Sempat ragu sih bakal salah jalan... Ah bagai menemukan toilet saat kebelet pipis, lega banget waktu liat plang Selamat Datang di obyek wisata tersebut.
Sampai di pintu masuk gunung, kami parkir, beli tiket, dan memutuskan sholat subuh terlebih dahulu. Sekitar setengah lima baru kami mulai pendakian.

Trek yang harus ditempuh buat sampai puncak memang tidak terlalu tinggi, tapi lumayan menanjak dan ‘butuh perjuangan’. Jadi, aku sarankan kalian jangan pakai alas kaki yang bawahnya licin, mmm tapi aku pakai my beloved sandal Swallow biru aman kok :3 Nggak perlu takut tersesat meskipun tanpa pemandu, karena ada petunjuk jalan di sepanjang trek. Aku paling suka waktu melewati celah diantara dua batu besar heheh, rasanya kayak segolongan kaum yang hijrah ke negeri tetangga lewat celah misterius gitu hahah #lebay


Sunrise dari Puncak Utama Gunung Api Purba

Oh iyaa..jangan lupa slogan ini selama perjalanan >> "Take nothing but picture, leave nothing but footprints, kill nothing but time." :)

Sekitar empat puluh lima menit pendakian, sampai juga kami di puncak Gunung Api Purba. Ada sunrise-nya sih, tapi itu nggak se-spektakuler sunrise yang aku lihat di Selat Bali atau di Pantai Sanur beberapa tahun silam. Tapi, nggak kecewa-kecewa amat. Tetep seneng, pemandangannya bagussss njuk pengen lagi :3


Rombongan lain yang juga lagi 'Mengejar Matahari'

happy girl with her beloved sandal swallow biru~


Leren di salah satu pos dalam perjalanan turun
Selain ke Gunung Api Purba, kami juga sempat mampir ke Embung, sebuah Danau buatan yang tak jauh dari situ. Cuma sebentar. Why? Karena kami belum sarapan. Kami memutuskan sarapan di sekitaran Bukit Bintang.




mereka udah temenan sejak SMP,
sejak mereka partner-an jadi Sekretaris OSIS SMP hahah
happiness is more about journey than the destination

Begitulah, seringkali kata-kata adalah terbatas untuk menggambarkan sebuah perjalanan. Namun, bukankah sebuah perjalanan harus tetap dituliskan? Sebuah sejarah kawan, bahwa kita pernah melaluinya bersama :)





Hari itu terus bergulir..
dan terima kasih Tuhan, untuk sore yang hangat pada Sabtu delapan Maret dua ribu empat belas. I love that kind of afternoon~ So lovely and beautiful!


 Krapyak, YK. 30 Maret 2014
baru sempet nulis sekarang..

You May Also Like

0 comments