Dua bulan. Rentang waktu itu dikatakan lambat atau cepat
adalah tergantung bagaimana kita menjalaninya, tergantung bagaimana kita
memaknainya. Dua bulan di tanah rantau dalam rangka KKN adalah waktu yang cukup
lama. Saya rasa semua sama, enam ribu mahasiswa yang berangkat KKN
antar-semester tahun 2015 ini pasti memiliki begitu banyak cerita yang ingin
diungkapkan. Karena itulah, tulisan kali ini cukup panjang, namun tetap hanya
secuil dari sekian banyak kisah yang ingin dituliskan selama enam puluh hari
mengabdi.
Universitas Gadjah Mada adalah perguruan tinggi yang
merintis adanya KKN yang kemudian diikuti oleh perguruan tinggi lain baik
negeri maupun swasta. Awalnya KKN UGM dilselenggarakan di sekitar kampus,
seperti di Jogja, Klaten, Magelang, Kebumen, dan sekitarnya. Puluhan tahun
berlalu, kini KKN UGM mulai menjangkau seluruh Nusantara, mulai dari Sabang
sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Mahasiswa diperkenankan memilih
sendiri lokasi KKN atau dapat pula mengikuti plotting lokasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Asal usul
sebuah lokasi KKN-PPM UGM dapat karena ditentukan oleh LPPM, atau bisa juga
lokasi tersebut mengajukan proposal ke LPPM agar dijadikan lokasi KKN. Program
utama KKN pun beragam, ada pertanian, pariwisata, pengelolaan air, dan
sebagainya. Tahun 2015 ini, LPPM memberangkatkan sekitar 6.000 mahasiswa ke
kurang lebih 200 unit lokasi KKN di seluruh Indonesia...dan saya adalah salah
satu pesertanya.
Satu Juli 2015 akan menjadi hari bersejarah
bagi kami. Hari itu, secara resmi seluruh tim KKN diterjunkan ke lokasi
masing-masing. Berangkat ke lokasi baru, tinggal bersama orang-orang baru, dan
harus menyesuaikan diri di lingkungan baru. Tidak mudah tentu saja, saya rasa
konflik demi konflik pasti ada di setiap tim. Maklumlah, setiap tim terdiri
atas beberapa orang dengan latar belakang berbeda, dengan cara pikir yang
berbeda-beda pula. Semua itu sekuat hati kami redam, demi program berjalan
lancar, demi tim, demi nama baik almamater.
Meski kuliah kerja nyata mengharuskan menjalankan
program-program yang tidak sedikit, namun KKN lebih dari itu. KKN bukan sekedar
membuat plang penunjuk jalan lalu pulang, bukan sekedar sosialisasi-sosialisasi
lalu pergi, bukan sekedar pelatihan-pelatihan lalu lepas tangan. KKN lebih dari
itu. Setiap tim memang terdiri atas mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, agar
ilmu yang dibagikan pada masyarakat dapat lebih beragam. Tapi, alih-alih
memberi ilmu, justru dari KKN kami mendapatkan begitu banyak ilmu. Ya, kami memang memberikan apa yang kami tau,
apa yang kami pelajari, tapi itu hanya sedikit sekali dibandingkan apa yang
kami dapat. Dari KKN kami belajar tentang bermasyarakat, tentang berkomunikasi
dengan anak kecil, tentang berbagai macam karakter orang, tentang toleransi,
tentang memasak, bahkan mungkin lewat dua bulan yang tak akan terlupa itu kami
jadi lebih mengenal diri sendiri.
Selain semua itu, selain yang saya pelajari di tim dan
lingkungan tempat KKN, saya merasa sangat bersyukur berada dalam salah satu dari
ribuan mahasiswa KKN-PPM UGM yang tersebar di seluruh Nusantara. KKN membuat
kami lebih mengenal Indonesia. Saya KKN
di Pulau Seliu, sebuah pulau kecil di Selatan Pulau Belitung, tapi saya
memiliki teman-teman yang ber-KKN di tempat-tempat lain dan kami berada dalam
satu chat group, entah WhatsApp atau
Line. Teknologi benar-benar telah memudahkan komunikasi kami. Lewat chat group ini saya menyimak kisah dari
kawan-kawan tentang kebiasaan dan kebudayaan di berbagai pelosok negeri.
Tentang bagaimana sholat tarawih di Keciput, Belitung. Tentang bagaimana
tadarusan di Mlandi, Wonosobo. Tentang bagaimana suasana Ramadhan di
Tasikmalaya, Jawa Barat. Tentang seperti apa kain khas dari Alor, Nusa Tenggara
Timur. Tentang seperti apa tarian khas dari Selaru, Maluku. Tentang perayaan
Galungan di Gianyar, Bali. Tentang pesta rakyat di Kebonsari, Pacitan. Tentang
Upacara Tujuh Belas Agustus di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan. Tentang Lebaran
di Entikong, Kalimantan. Banyaaak. Begitu banyak.
Sebuah artikel yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat edisi 02 Juli 2015. |
KKN-PPM UGM tak hanya membuat mahasiswa mengenal wilayah
KKN masing-masing, tapi juga mengenal Indonesia sedikit lebih dekat. Dari
cerita-cerita sesama kawan baik selama maupun sepulang KKN. Bagi saya, saya
jadi lebih mengetahui lokasi-lokasi yang bahkan belum pernah saya dengar namanya,
lengkap dengan gambaran kondisi sosial. Gambaran bentang alam Indonesia pun
kami ketahui lewat foto KKN dari kawan-kawan. Indahnya Kepulauan Raja Ampat di
Papua Barat. Pegunungan Latimojong di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Sejuknya pagi
lereng Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Senja di Kaimana, Papua Barat.
Begitu indahnya Indonesia.
Namun, KKN juga membuat kami lebih membuka mata, bahwa di
balik menawannya Indonesia ada banyak masalah yang masih harus diselesaikan.
Bahwa masih ada daerah yang sulit dijangkau karena terbatasnya infrastruktur
jalan. Bahwa masih ada daerah yang belum dua puluh empat jam dapat mengakses
listrik. Bahwa masih ada masyarakat yang harus menempuh perjalanan begitu
jauhnya untuk mendapat pertolongan medis, itupun dengan alat kesehatan yang
terbatas. Bahwa masih ada anak-anak yang putus sekolah. Suatu kenyataan pahit
yang nantinya harus diatasi oleh generasi penerus bangsa seperti kami.
KKN benar-benar telah mengajarkan banyak hal. Ia tak
hanya suatu hal yang harus ditempuh sebagai syarat akademik. Ia adalah
perjalanan, tak hanya raga tapi juga memperjalankan jiwa. Ia membawa kita pada
pengalaman-pengalaman yang berharga. Ia memberi kita kisah-kisah yang akan kita
kenang sepanjang masa. Ia menunjukkan potret negeri ini selangkah lebih dekat.
Ia membuat kami lebih mencintai Indonesia. Semoga apa yang didapatkan selama
dua bulan KKN menjadi pemicu semangat untuk terus berkarya, berkontribusi untuk
Ibu Pertiwi. Seperti jargon yang dulu kami teriakkan di Lapangan Graha Sabha Pramana
ketika Ospek mahasiswa baru:
Pancasila Jiwa Kami, Bakti untuk Negeri, UGM Bersatu, Bangkitlah
Nusantaraku!!!
Perpustakaan Fisipol UGM, Yogyakarta
12 Oktober 2015