Lagi-lagi aku sampai pada titik ini. Dimana aku harus melihat matamu basah oleh lelaki yang sama. Aku harus mendengar kisah-kisah yang tak pernah beda. Aku harus menyaksikan nafasmu sesak karena terisak. Seperih itukah?
Nona, kenapa harus kamu?
Aku tahu kau pemberani. Aku pun tahu kau cukup kuat. Tapi jika gunung yang kau daki terlalu terjal. Jika pemandangan sekitarnya tak seindah yang kau damba. Turunlah. Bukannya menyerah. Hanya saja, kebahagiaan tak hanya itu semata. Lihatlah, tubuhmu sudah terluka dimana-mana. Berapa kali lagi kau mampu bangkit dari rasa sakit? Berapa lama lagi kau mampu bertahan dari kehancuran?
Kau bilang apa? “Larilah, sejauh kau bisa lari.” candamu malam itu. Aku bisa saja berlari sejauh-jauhnya. Tapi percuma, karena setiap pulangku adalah menujumu. Kau pun sama. Percuma kau berlari sejauh kau bisa. Kalau untuk setiap luka, kembalimu padaku jua.
Iya. Kenapa harus kamu, Nona?
Ketahuilah, aku sudah banyak kehilangan dirimu. Kau yang kukenal sekarang, bukanlah yang dulu menyapaku riang. Betapa waktu telah banyak mengubahmu. Begitu pula waktu menumbuhkan rasa hatiku. Mengakar semakin dalam, menjulang semakin menantang.
Namun, kau tenang saja. Aku tidak akan merusak apa yang sudah ada. Aku bisa berpura-pura tidak merasa apa-apa. Bahkan, aku pun akan tetap di sini, mengganggumu seperti biasanya.
Ah,
Kenapa harus kamu, Nona?
yang selalu kuusap air matanya
yang paling ingin kulihat senyumnya
yang selalu kudambakan hadirnya
Nona, mendakilah jika kau ingin mendaki. Aku janji akan selalu mengiringi pun membantumu berdiri. Larilah jika kau ingin jauh berlari. Aku akan selalu menantimu kembali.
Meskipun aku tak tahu, kenapa harus kamu, Nona?
Krapyak, Yogyakarta | 22 Desember 2014
karena inspirasi bisa datang dari mana saja.