"Kita
tak pernah tahu apa yang sedang menanti untuk terjadi,
tapi setidaknya
kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi
agar jangan sampai
terulang lagi."
Rabu, 6 Agustus 2014
Langit masih gelap,
suhu Magelang cukup dingin, dan masih pada waktu yang paling nyaman
untuk terlelap. Jam empat dini hari. Tapi dua belas anak muda itu sudah
bersiap-siap memakai carrier berisi segala perbekalan yang telah
disiapkan semalam. Demi sebuah kata yang mereka sebut; petualangan.
Tujuannya? Gunung Lawu, 3265 mdpl. Aku adalah salah satu dari mereka.
Petualangan
dimulai. Kami mengendarai motor dari Magelang menuju Stasiun Kereta Api
Lempuyangan. Sebenarnya hanya sembilan orang yang berangkat bersamaku,
dua orang lainnya telah pergi sekitar lima belas menit lebih dulu untuk
memesan tiket kereta.
Sebelum aku
bercerita lebih jauh, aku ingin kau mengenal pelaku dalam petualangan
kali ini :) Dua orang yang aku katakan berangkat lebih dahulu untuk
memesan tiket kereta adalah Ajik, sang pemimpin pendakian dan Habib,
pria kocak yang bertubuh paling bersubur diantara kami. Kalau yang
memboncengku ini, sahabatku Harry, kau sudah sering mendengar namanya di
tulisanku sebelumnya kan? Nanti, kalau kau jumpai pria berkumis dan
rambut keriting, itu Rizqi a.k.a Pakde. Dia mungkin tak bisa jauh-jauh
dari seorang wanita cantik bernama Dhita, itu pacarnya. Sedangkan kalau
kau temui pria berambut gondrong, itu Amirul. Dia berangkat dibonceng
abangku, Zen. Empat orang lainnya, yang naik motor sendiri adalah
temannya Pakde, Febri dari Banjarnegara. Fandi, teman les-ku dari SMP
yang sekarang satu universitas denganku dan Ajik. Keponakanku (padahal
cuma beda dua tahun), Ichan. Dan adik kelas semasa SMP, Adnan.
Itulah, dua belas
orang yang berangkat dari Magelang. Di Stasiun Lempuyangan, bergabunglah
dengan kami, Poppy, teman se-fakultas-ku.
Fajar di Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta 6 Agustus 2014 |
Pukul lima lebih tiga puluh kereta beranjak dari Lempuyangan.
Cuaca bulan kemarau
memang dingin kala pagi dan menyengat di siang hari, tapi dari dingin
dan panas itu ada satu yang bisa kita syukuri; langitnya yang selalu
menawan :) Seperti hari itu, Tuhan mengizinkan petualangan ini bermula
indah, dari KA Sriwedari kami bisa melihat matahari terbit yang begitu
memukau. Jingga dan bulat penuh. Bagiku, ini matahari terbit terindah
seumur hidupku. Matahari terbit, kereta api, kita, dan teman-teman.
Bolehkah kalau kukatan, mmm romantis? hahah
Matahari terbit dari KA Sriwedari jurusan Jogja-Solo 6 Agustus 2014 |
Setelah kurang
lebih satu setengah jam perjalanan, kami turun di Stasiun Kereta Api
Solo Balapan lalu berjalan menuju terminal bus terdekat. Di terminal,
kami ketambahan rombongan tiga orang, teman-temannya Harry. Mereka
adalah Rapon, Danny, dan Ozi (sepupunya Danny). Lengkap sudah enam belas
orang dalam satu rombongan yang akan mendaki Gunung Lawu.
Motor sudah, kereta
sudah, saatnya kami melanjutkan perjalanan dengan bus menuju
Tawangmangu. Satu jam perjalanan, bisa laah sambil tidur dulu :P
Sementara yang lain
tidur, aku akan katakan padamu bagaimana enam belas orang ini bisa
bersatu. Iya, skenario Tuhan tentu saja. Tapi, skenario yang bagaimana?
Ah, ini akan sedikit rumit. Bacalah baik-baik :)
Aku, Harry, Ajik,
Pakde, Zen, Habib, dan Amirul adalah kawan satu SMP. Ichan dan Adnan,
adalah adik kelas kami waktu SMP. Dalam perjalanan ini Pakde mengajak
pacarnya yang bernama Dhita dan teman kuliahnya, Febri. Sementara Ajik
mengajak dua orang yang merupakan kawan kami di Image (Ikatan Mahasiswa
Gadjah Mada Magelang), Poppy dan Fandi. Harry tak mau kalah, ia juga
mengajak dua orang teman kuliahnya, Rapon dan Danny. Ozi? Dialah
sepupunya Danny, Danny mengajaknya. Oke, kuharap kalian paham. Kalau
tidak, bacalah berulang-ulang heheh.
Dari enam belas
orang itu, yang dapat dikatakan berpengalaman mendaki adalah Ajik,
Poppy, Zen, dan Ichan. Sisanya amatiran heuheu
Anggap saja sudah
satu jam perjalanan, sampailah kami di terminal bus Tawangmangu. Di sini
kami berhenti untuk istirahat sejenak, sarapan lalu perjalanan
dilanjutkan lagi dengan mobil colt.
Kami sampai di basecamp Cemoro Sewu jam sebelas siang. Penyesuaian suhu, persiapan, sholat dzuhur, dan pemanasan dilakukan. Start pendakian jam setangah satu siang, Harry di depan, Zen dan Ajik sebagai sweeper.
Start pendakian, Gerbang Cemoro Sewu |
Ajik, the team leader. |
Dari Cemoro Sewu aku bingung bagaimana harus menceritakan pendakian ini....
Mungkin begini
saja, jalur pendakian Cemoro Sewu terdiri atas jalan setapak berbatu.
Pada awal-awal berjalan kami masih kesulitan mengatur nafas, istilahnya 'ngos-ngosan'.
Perlahan-lahan kami mulai bisa menyesuaikan diri, berjalan sambil
sesekali bercanda. Jarak satu sama lain terjaga, tidak terlalu jauh.
Sekitar satu jam berjalan, kami sampai di Pos Satu. Istirahat sejenak
tentu saja, sejauh ini semua personil masih sehat.
Dari lima pos yang
akan kami lalui, Ajik bilang jarak terpanjang adalah dari Pos I menuju
Pos II.. Karena perjalanannya panjang, baiklah aku akan sedikit cerita
tentang Gunung Lawu, sepengetahuanku sebagai pendaki amatir tentu saja.
Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia berada
di wilayah empat kabupaten yaitu Karanganyar, Wonogiri, Magetan, dan
Ngawi. Gunung yang merupakan gunung tertinggi keenam di Pulau Jawa ini
memiliki ketinggian 3265 mdpl dengan Hargo Dumilah sebagai puncak
tertingginya. Lawu memiliki dua jalur pendakian, yaitu Cemoro Sewu dan
Cemoro Kandang. Kami memilih jalur Cemoro Kandang karena track-nya pendek meskipun cukup terjal, yaitu dapat ditempuh sekitar enam sampai delapan jam.
Singkat cerita,
sampailah kami di Pos III. Pukul setengah lima sore, suhu sudah mulai
dingin. Kami memakai jaket dan berbagai macam penghangat. Kami berhenti
cukup lama, memasak air untuk menghangatkan tubuh. Ah, tak hanya memasak
air, berhenti lama adalah untuk mempertimbangkan sesuatu.
Kawan, bagiku
saat-saat di Pos III itu adalah saat yang berat. Rombongan terpecah
menjadi dua, ada yang tinggal di bawah dan menyusul menjelang sunrise dan ada yang melanjutkan perjalanan ke Pos V.
Ya, aku mengalami
konflik batin yang rumit. Tidak lebay, ini serius. Kalau bisa, rasanya
ingin minta nasehat Ibuk saat itu juga. Tapi, sinyal sudah tak ada dan
aku tak punya waktu banyak. Aku harus mengambil keputusan saat itu
juga...dan aku memutuskan untuk naik bersama sembilan orang teman.
Sementara Harry, Rizqi, Dhita, Adnan, Danny, dan Ozi mendirikan tenda di
Pos III...
Tenda Pos III |
Setengah sepuluh malam, kami sampai di Pos V. Mulai mendirikan tenda dan memasak. Lalu segera tidur untuk mengejar sunrise esok pagi.
Kamis, 7 Agustus 2014
Kami bangun sekitar
pukul empat setelah dikagetkan suara yang memanggil
"Magelang..Magelaaang." lalu kami jawab "Woii...". Itu tadi suara Pakde,
Dhita, dan Adnan yang menyusul kami untuk melihat matahari terbit. Kami
segera bersiap-siap menuju puncak Lawu. Setengah jam kemudian kami
mulai perjalanan menuju puncak, dipimpin langsung oleh Ajik. Dingin
sekali.
Dalam perjalanan
menuju puncak itu, sisi timur sudah menampakkan horizon jingga yang
memukau, juga gumpalan lautan awan tipis. Ajik sedikit mempercepat
langkah agar kami tak ketinggalan matahari terbit. Jalurnya sudah tak
lagi berbatu seperti sebelumnya, melainkan jalur tanah di sabana.
Sekitarnya adalah bunga-bunga edelweis dan rerumputan. Edelweis kawan,
edelweis! Lambang cinta abadi. Untuk dapat melihatnya kita harus
benar-benar berjuang agar sampai pada titik-titik dataran tinggi dimana
ia bisa tumbuh. Seperti cinta sejati yang butuh perjuangan untuk meraih dan menjaganya :) Jikalau dipetik pun, bunga ini tak layu..hanya kering. Seperti cinta sejati yang tak bisa musnah begitu saja #halah
fabiayyi alaairabbikuma tukadzdzibaan? |
Setengah enam, kami menginjakkan kaki di Hargo Dumilah, 3265 mdpl. Pendakian pertamaku yang benar-benar sampai puncak gunung ini, ku dedikasikan untuk Ibuk tersayang. Sayang sekali, hanya tiga belas yang sampai puncak. Tiga lainnya stay di Pos III karena tak memungkinkan lanjut berjalan. Tak lengkap rasanya.
Ucapan selamat pagi buat Ibuk, dari 3265mdpl. |
Don't worry, girls.. I'm a peacemaker! :) |
Yes, Hargo Dumilah! |
Setetes surga pernah bocor, jatuh di Negeri kami, tanah air kami. Indonesia. |
Habib - Ajik - Fandi - Dhita - Pakde - Poppy - Nurul |
|
Yaaa...begitulah~ |
Tenda Pos V |
the couple :) |
|
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------
Tanggal delapan belas Agustus, aku mengunggah fotoku di Hargo Dumilah di Instagram, caption foto tersebut adalah semacam testimoni-ku untuk pendakian ini, demikian kalimatnya:
"Terima kasih untuk sebaris kalimat yang membuatku yakin untuk melanjutkan perjalanan sampai puncak. Sebuah perjalanan yang menyisakan pengalaman, pelajaran, dan kenangan yang berharga...juga sebuah luka yang entah bisa sembuh atau tidak :')"
Krapyak, Jogjakarta
Jumat, 29 Agustus 2014
see you next trip :')