Adakah di antaramu yang pernah baca bukunya Tere
Liye yang judulnya Rembulan Tenggelam di Wajahmu? Aku pernah, sekitar empat
tahun lalu. Salah satu buku yang dari dalamnya aku bisa banyak mengambil
pelajaran. Tapi, aku bukan mau mebahas isi buku itu lebih jauh tapi ada kalimat
menarik dari buku yang bercerita tentang sesosok pria bernama Ray, yaitu:
"Kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka
sebuah kejadian pasti terjadi. Tak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu
menggagalkannya. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menginginkannya, maka sebuah
kejadian niscaya tidak akan terjadi. Tidak peduli seluruh isi langit-bumi
bersekutu melakasanakannya."
Kalimat
itu terdengar begitu benar. Manusia sungguh hanya bisa merencanakan, berusaha
mewujudkan, selebihnya sudah mutlak kuasa Allah. Seperti itulah yang terjadi
pada kami, beberapa anak manusia yang merencanakan sebuah perjalanan. Beberapa
anak manusia yang bernama Harry, Rizqi, Dhita, Ajik, Nurul, Ajeng, dan Zen.
Kami merencanakan sebuah perjalanan, mendaki Gunung Api Purba, melihat matahari
terbit dari puncaknya bersama-sama. Rencana semula, kami mestinya berkumpul di
Jogja tanggal 14 Februari 2014 pada sore hari. Aku dan Zen seharusnya berangkat
dari Magelang, Harry sama Dhita dari Solo, lainnya sudah stay di Jogja karena
mereka emang udah masuk kuliah.
Tapi
sungguh, manusia hanya bisa berencana. Kamis, 13 Februari 2014 sekitar pukul
22.00 Allah menghendaki Gunung Kelud yang terletak di Kediri, Jawa Timur
meletus, “mengeluarkan beban beban berat yang dikandungnya”. Hingga Jumat dini
harinya, hujan abu dari efek meletusnya Gunung Kelud sampai ke Solo, ke Jogja,
ke Magelang, dan sekitarnya. Cukup tebal kawan, cukup menganggu. Hingga subuh
itu, kami berkomunikasi lewat pesan singkat, memutuskan menunda perjalanan kami
untuk mengejar matahari.
Beberapa
teman sempet kecewa, apalagi Ajeng udah packing.
Aku berusaha menghibur mereka bahwa pasti nanti ada waktu yang lebih tepat,
yang lebih indah. Tapi, tidak sekarang, harus bersabar. Aku sendiri entah
kenapa sudah punya firasat perjalanan hari itu bakalan batal, Harry juga demikian,
dia ngerasa gak semangat buat berangkat. Jadi aku lebih siap dengan batalnya
perjalanan kami. Ah, tertunda lebih tepatnya.
Keadaan
Jogja memang ngeri waktu itu. Beberapa teman mengirimkan foto keadaan Jogja
setelah hujan abu Gunung Kelud via pesan whatsapp, ada juga yang upload di Twitter. Keadaan diperparah dengan hujan yang tak kunjung datang. Debu vulkanik
dimana-dimana. Mengerikan~ Aku bersyukur, kami belum jadi berangkat. Nggak
bayangin kalau hujan abu itu terjadi pas kami di tengah pendakian misalnya. Ah
iya kan? Pasti ada hikmah di balik semua peristiwa, pasti ada yang bisa
disyukuri. Kudu “titen” kalau kata Ayahnya Harry.
Tugu Jogja ketika hujan abu akibat letusan Gunung Kelud 140214 |
Kampus Fisipol UGM ketika hujan abu akibat letusan Gunung Kelud 140214 |
…dan ketika Tuhan
menghendaki sebuah kejadian terjadi, maka pasti terjadi
Sabtu,
8 Maret 2014
Kami
memulai perjalanan itu. Sayang sekali minus Ajik dan Zen, karena mereka sedang
punya kesibukan masing-masing :(
Kami berangkat dari
Jogja kota pukul 03.00 dini hari. Iya, sepagi itu demi mengejar matahari :DKatakanlah
kami start dari Jalan Kaliurang KM 5. Sebenarnya diantara kami tidak ada yang
tahu pasti jalan menuju obyek wisata Gunung Api Purba, hanya modal nekat sama
semangat hahah. Aku cuma tahu sampai daerah Gunung Kidul, habis Polsek Patuk
itu naik dikit ada plang arah menuju Gunung Api Purba. Iya, Cuma sampai situ
selebihnya nggak tahu. Selepas dari plang itu kami sempat tersesat, untung
nggak jauh. Kami balik lagi, berbekal insting kami mengikuti jalan yang minim
penerangan, tapi cukup bagus jalannya. Sempat ragu sih bakal salah jalan... Ah bagai menemukan toilet saat kebelet pipis, lega banget waktu liat plang
Selamat Datang di obyek wisata tersebut.
Sampai
di pintu masuk gunung, kami parkir, beli tiket, dan memutuskan sholat subuh
terlebih dahulu. Sekitar setengah lima baru kami mulai pendakian.
Trek
yang harus ditempuh buat sampai puncak memang tidak terlalu tinggi, tapi
lumayan menanjak dan ‘butuh perjuangan’. Jadi, aku sarankan kalian jangan pakai
alas kaki yang bawahnya licin, mmm tapi aku pakai my beloved sandal Swallow biru aman kok :3 Nggak perlu
takut tersesat meskipun tanpa pemandu, karena ada petunjuk jalan di sepanjang trek. Aku paling suka waktu melewati celah diantara dua batu besar heheh,
rasanya kayak segolongan kaum yang hijrah ke negeri tetangga lewat celah
misterius gitu hahah #lebay
Sunrise dari Puncak Utama Gunung Api Purba |
Oh iyaa..jangan lupa slogan ini selama perjalanan >> "Take nothing but picture, leave nothing but footprints, kill nothing but time." :)
Sekitar
empat puluh lima menit pendakian, sampai juga kami di puncak Gunung Api Purba.
Ada sunrise-nya sih, tapi itu nggak se-spektakuler sunrise yang aku lihat di
Selat Bali atau di Pantai Sanur beberapa tahun silam. Tapi, nggak kecewa-kecewa
amat. Tetep seneng, pemandangannya bagussss njuk pengen lagi :3
Rombongan lain yang juga lagi 'Mengejar Matahari' |
happy girl with her beloved sandal swallow biru~ |
Leren di salah satu pos dalam perjalanan turun |
Selain
ke Gunung Api Purba, kami juga sempat mampir ke Embung, sebuah Danau buatan
yang tak jauh dari situ. Cuma sebentar. Why? Karena kami belum sarapan. Kami
memutuskan sarapan di sekitaran Bukit Bintang.
mereka udah temenan sejak SMP, sejak mereka partner-an jadi Sekretaris OSIS SMP hahah |
Begitulah,
seringkali kata-kata adalah terbatas untuk menggambarkan sebuah perjalanan. Namun,
bukankah sebuah perjalanan harus tetap dituliskan? Sebuah sejarah kawan, bahwa
kita pernah melaluinya bersama :)
Hari itu terus bergulir..
dan
terima kasih Tuhan, untuk sore yang hangat pada Sabtu
delapan Maret dua ribu empat belas. I
love that kind of afternoon~ So lovely and beautiful!
Krapyak, YK. 30 Maret 2014
baru sempet nulis sekarang..