Ibuk
Ibuk. Bagitulah aku biasa memanggil wanita yang dari rahimnya aku
dilahirkan, yang dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ialah orang pertama yang
harus kita muliakan. Sejak kecil, aku memang lebih dekat dengan Ibu daripada
Bapak. Ibuk berperan sepenuhnya dalam hidupku. Ibuk dan selalu Ibuk.
Ibuk adalah wanita yang pada usianya yang
keduapuluhtujuh melahirkan aku. Beliau bercerita, pertama kali memegangku,
memandikan aku adalah hal yang paling menegangkan. Beliau periksa seluruh
tubuhku, memastikan semuanya baik-baik saja, memastikan jari kedua tanganku
genap sepuluh, begitu juga jari kakiku. Ketika aku mulai tumbuh, dibisikan
olehnya kata-kata di kedua telingaku, memastikan aku bisa mendengar. Diberilah
aku mainan di atas mataku agar mataku mengikuti kemana arah mainan itu
digerakkan, memastikan aku bisa melihat. Iya, Ibuk adalah wanita yang ‘segitunya’
kepadaku. Andaikata saat itu didapatinya aku cacat, aku yakin sepenuhnya
Ibuk-lah satu-satunya sosok yang akan menerima keadaanku, then encourage me.
Ibuk adalah yang justru menangis melihat putri sulungnya yang
nakal berdarah-darah karena menggenggam silet. Gadis kecil itu tidak menangis,
hanya memandangi tangannya. Ibuk-lah yang menangis, menyesali kelalaiannya dan
segera mengantarnya ke dokter, lalu merawat lukanya pada hari-hari selanjutnya.
Hingga ketika gadis itu dewasa, luka itu tak meninggalkan bekas di tangannya
Ibuk adalah yang memeluk erat putri sulungnya yang berlari sambil
menangis dan menjerit ketakutan karena melihat kupu-kupu. Ibuk pula yang
memeluknya ketika ia takut mendengar suara gamelan dari pentas kesenian kampung
sebelah. Memeluknya, hingga ia lelap tertidur.
Ibuk adalah yang mengenalkan putrinya akan nama hewan, buah,
ataupun kendaraan yang belum pernah dilihat, lewat poster-poster di ruang
belajar. Mengajarinya bermain lego. Dengan lembut mengajari putrinya mewarnai,
membaca, menulis, atau juga bernyayi.
Ibuk juga merupakan sosok yang sangat keras ketika mengajar
mengaji, mengajarkan ilmu agama. Ibuk begitu tegas, karena ilmu agama tidak
bisa disepelekan. Anak-anaknya harus tahu ilmu agama.
Ibuk adalah yang menanyai putrinya, “Pelajaran apa yang sulit?” | “Bahasa
Jawa, Buk.” | Lalu Ibuk datang ke sekolah, bertanya pada Bu Guru, buku apa yang
bisa digunakan putrinya untuk membantu memahami pelajaran? Dibelikan-lah
untukku buku Pepak Basa Jawa. Iya, Ibuk adalah yang ‘segitunya’.
Ibuk tidak pernah menuntut putra-putrinya untuk selalu menjadi
yang terbaik di kelas. Tidak. Ibuk ‘hanya’ membantu kami, anak-anakanya,
belajar dan merasa nyaman. Membuat kami belajar sepenuh hati. Tidak pernah menuntut
untuk mendapat nilai tertinggi di kelas.
Ibuk tak pernah lelah mendengarkan kisah putrinya sepulang
sekolah, semua tentang kejadian sekolah ia ceritakan, tentang temannya,
gurunya, kakak kelasnya, perjalanannya. Semua. Dan Ibuk selalu menyediakan
waktu untuk mendengarkan, tidak pernah bosan.
Ibuk pula yang memberikan nasihat bagi putri sulungnya yang keras
kepala. Mengajarkan padanya tentang hidup, tentang syukur, tentang kasih saying,
tentang menerima, tentang semangat, tentang kemandirian, segalanya. Kadang
lembut, kadang juga melalui bentakan, tapi semua kalimat terdengar benar.
Ibuk dan hanya Ibuk yang sepenuhnya memahami putri sulungnya,
kemudian menerima apa adanya. Tak perlulah aku banyak berkata-kata menjelaskan
apa yang terjadi, aku tidak nafsu makan saja Ibuk tau aku sedang jatuh cinta,
aku diam saja Ibuk tahu ada yang tidak beres.
Ibuk yang selalu memanjatkan doa untuk putri sulungnya setiap
habis sholat. Lalu meniup ubun-ubun putrinya, “agar merasuk doanya” ujar
beliau. Dan segala keajaiban yang terjadi dalam hidupku, aku yakin pasti ada unsur
doa ibu di dalamnya.
Ibuk adalah yang melihat putrinya pada keadaan sejatuh-jatuhnya,
lalu menemani sepanjang ‘masa penyembuhan’, mengiringinya hingga ia benar-benar
bisa bangkit lagi. Kemudian berkata, “Ibuk nggak mau lihat kamu ‘sakit’ lagi.
Hati-hati.”
Kalau aku harus menuliskan segalanya tentang Ibuk, maka sungguh
aku tak akan bisa. Karena Ibuk terlalu segalanya. Sebagian itu saja yang bisa
aku tuliskan tentang Ibuk. Ibuk adalah
sahabat terbaik dan cinta paling tulus. Wanita sederhana dengan kharisma yang
mengagumkan. Ibuk adalah yang meski terpisah oleh jarak satu jam perjalanan,
tetap bisa memelukku dengan doa-doanya.
Thanks Allah, for giving me this Ibuk. Thanks.
Thanks mom, you rise me up to more than I can be *pelukibuk*
Allahummaghfirli dzunuubi waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani
shoghiiro
Krapyak, Yogyakarta 4 April 2014
lima puluh tiga menit lewat tengah malam
Aku sayang Ibuk :*
0 comments