Midnight Self-talk

by - April 15, 2017

Sebuah tulisan yang agak panjang, ditulis dari sudut pandang saya pribadi (agak curhat dan menghibur diri juga sih sebenernya haha) boleh setuju, boleh tidak. Boleh kasih kritik juga saran yang membangun :)
Memasuki masa transisi, dari dunia perkuliahan ke dunia kerja. Saya dan kawan-kawan seumuran tentu tak bisa lepas dari pembicaraan perihal pencarian kerja, baik sekadar basa-basi atau sungguh-sungguh terlibat percakapan tersebut. Pencarian kerja pun menjadi topik yang kadang agak sensitif dibahas, seperti halnya skripsi pada masanya dulu. Dari obrolan-obrolan itu, saya menemukan beberapa hal yang...mm unik mungkin, diantaranya seperti yang saya tuliskan ini.
Seorang kawan bercerita kepada saya, bahwa ia tak ingin bekerja di satu bidang tertentu karena suatu alasan khusus. Sebuah alasan yang bisa saya pahami. Namun, yang tak bisa saya pahami adalah ketika dia berulang kali mendaftar pada bidang yang dihindarinya tersebut. Hingga akhirnya diterima di dua perusahaan yang kebetulan sama-sama berhubungan dengan bidang yang konon dihindarinya, jadilah dia galau bukan kepalang. Ingin menolak tapi juga ingin segera bekerja, ingin menerima tapi juga tergiur mendaftar di perusahaan lain. Saya menyarankan agar ia mengambil salah satu pekerjaan tersebut, memilih, sholat istikharah. “Jadi, kamu dukung aku kerja di perusahaan itu?” dia merespons dengan nada tak enak, setengah gusar. “Loh, kalau kamu nggak mau kerja disana ngapain kamu daftar?” saya balik bertanya, mungkin terdengar agak jahat. Tapi, begitulah yang ada dalam benak saya. Setiap pekerjaan itu pasti ada risikonya masing-masing, punya kulturnya masing-masing. Bagi saya, kalau dari awal sekiranya sudah tidak sreg dengan perusahaanya, sudah tidak yakin bisa meng-handle risikonya...yaa mending tak usah mendaftar. Biarkan saja kesempatan itu diambil oleh mereka yang lebih siap lahir batin dengan pekerjaan itu. Karena pemikiran yang ‘pilih-pilih’ inilah, seorang kawan berkata kepada saya: “Kamu idealis. Kayak mahasiswa.” Hehe he hehehe saya hanya membalasnya dengan tersenyum. Sejauh ini, setidaknya sejauh ini...prinsip saya memang seperti itu.
Sebagai mahasiswa jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik a.k.a Administrasi Publik, jurusan kami jarang dicantumkan di lowongan-lowongan pekerjaan. Jadilah, kami mendaftar pada lowongan mencantumkan syarat “bachelor degree of any major” alias “semua jurusan”, atau ikut ke Manajemen, itupun masih pikir-pikir dulu sesuai atau tidak. Saya kadang sedih ketika ada kawan sejurusan yang sangat pesimis mencari kerja, “Jurusan kita tuh susah banget.” apalagi kalau ditambah “Kenapa yaa dulu aku nggak kuliah di jurusan A, B, C, saja?” Hmm, ayolah gaess...rezeki udah ada yang ngatur. Semangat yuuk, jangan pesimis! Kadang saya mikir, ini saya yang terlalu selow atau mereka yang terlalu ngoyo? Entahlah. Di tengah jurusan kami yang jarang disebutkan di lowongan kerja, ada seseorang yang kebetulan kuliah di jurusan yang kayaknya favorit semua perusahaan. Dengan kesempatan yang begitu besarnya itu, seseorang berkata “Iya sih jurusanku ada dimana-mana, tapi kalau syarat nggak memenuhi kayak skor TOEFL-ku yang rendah ya sama aja.” Hiks...sedih lagi. Self-improvement kan tanggung jawab setiap individu, TOEFL masih bisa dikejar kok. Bisa les, atau yook belajar dari internet. Banyaakk..sangat banyak panduan TOEFL, dari PDF hingga video-video di Youtube. Tinggal mau usaha atau enggak. Jangan pesimis, tetap optimis! :’)
Yang makin bikin sedih, ada juga yang ngeremehin kerjaan orang. “Si A kan lulusan S1, kok mau kerja disana. Gajinya dikit.” Jujur saya kaget denger kalimat itu. Mungkin, orang yang dimaksud ini nggak cuma semata-mata cari gaji, mungkin passion-nya disitu, mungkin lingkungan kerjanya mendukung dan bikin dia nyaman, atau mungkin juga panggilan hati untuk mengabdi. Orang yang kerja dengan alasan kayak gitu saya rasa bener-bener ada. Apa yang saya pikirkan terbukti benar, ketika saya berkesempatan mengenal si A lebih dekat, ternyata si A ini load kerjanya banyak dan dia bisa handle itu dengan baik, dengan tetep terlihat hepi. Berkat pekerjaan itu, si A ini berkesempatan ketemu orang-orang hebat yang mana ia bisa belajar begitu banyak dari orang-orang yang ditemuinya, memperkaya pengalaman dan pengetahuannya. So...no, we really can’t underestimate someone’s job.
Kalau ketemu orang-orang yang terlalu galau masalah pekerjaan, pesimis, atau underestimate orang lain semacam itu coba didukung, diajak ngomong pelan-pelan. Menurut saya, itu semacam insecurity gitu, maybe they just need a friend to talk to, to made them emotionally secure. Biar dia semangat dan positive thinking. Meski kadang, ketika denger kalimat-kalimat macam itu juga bisa berpengaruh ke pemikiran kita, jadi ikut pesimis, jangan sampai deh ya. Sebisa mungkin jangan banyak ngeluh, kalau kita denger keluhan orang lain aja capek, mestinya orang yang denger keluhan kita pun capek kan? Hehe.
Bukannya kerja nggak ada yang enak ya? Semua ada risikonya. Seorang kawan yang bekerja di tambang batu bara dengan penghasilan yang terbilang besar, ia harus bekerja dua belas jam sehari. Sistemnya pun bukan lima hari kerja, lalu bisa menikmati weekend pada umumnya, tapi tiga belas hari kerja, satu hari off. Teman lain mengunggah pengalamannya bekerja pada perusahaan asuransi di pedalaman Kalimantan. Lewat sosial media ia bercerita bahwa untuk mencapai rumah klien-nya ia harus melewati jalanan yang tak semulus jalanan di Jawa, menyeberang sungai, dan kadang kemalaman hingga harus menginap di rumah warga (karena tidak ada penerangan jalan di malam hari). Tapi ia menikmati itu, senang bisa membantu orang katanya. Ada yang bilang kalau mau enak ya bisnis, bikin perusahaan sendiri? Itupun tak lepas dari risiko kan? Berjuang mempromosikan usahanya hingga adanya kemungkinan merugi. Nggak ada yang enak. We have to take the risk! Semua ada prosesnya masing-masing, nggak ada yang instan :’)
Terakhir, mari tetap semangat memperjuangkan hal-hal baik yang ingin diperjuangkan! Jangan lupa tetap berdoa pada-Nya dan mensyukuri apa yang sejauh ini telah Allah berikan pada kita. Sesekali introspeksi diri juga perlu, berbenah sedikit demi sedikit. We will be very much on time in our own timeline. Tapi ya itu, jangan lelah ikhtiar, belajar buat self-improvement, baca buku, baca artikel, nonton video, atau lewat obrolan positif bareng temen. Semoga impian kita terwujud. Amin.
Magelang, 15 April 2017 | 00:15 WIB

You May Also Like

0 comments