Ramadhan dan Kenangan

by - June 30, 2016


Ramadhan adalah tentang kesempatan dan harapan, kadang juga tentang...kenangan. Sebuah kalimat yang telah saya katakan pada posting sebelum ini. Ya, Ramadhan kadang adalah tentang kenangan, maka sangatlah wajar jika Ramadhan kali ini, saya atau mungkin juga kami, terkenang akan bulan puasa satu tahun yang lalu. Kali ini, izinkanlah saya mengenang bulan puasa tahun lalu yang tak terlupakan bagi kami.
Tiga puluh Juni, tahun 2015 adalah pertama kalinya saya bepergian dengan pesawat terbang. Penerbangan dari Jakarta itu membawa saya mendarat di Bandar Udara H.A.S. Hanandjoeddin Tanjung Pandan. Kesan pertama ketika keluar dari pesawat adalah: panas. Ya, bagi saya tempat itu cukup panas. Apalagi kala itu, adalah tengah hari di pertengahan bulan Ramadhan, cukup membuat kami makin haus dibuatnya haha. Tapi, saya harus mulai membiasakan diri, karena di tempat dengan suhu seperti inilah saya akan tinggal selama enam puluh hari mendatang untuk misi Kuliah Kerja Nyata.
Usai mengurus barang bawaan dan segala administrasi lainnya. Kami disambut kepala desa tempat kami akan melaksanakan KKN di halaman luar bandara, beliau adalah Pak Edyar yang telah menyiapkan satu unit bus milik Dinas Perhubungan dan mobil pribadi beliau untuk membawa kami ke lokasi KKN. Bus Dishub Kabupaten Belitung yang kami tumpangi jauh lebih kecil dari bus yang membawa kami dari Jogja ke Jakarta, jadilah dengan bus yang dijejali berbagai macam barang bawaan, kami berjalan meninggalkan bandara. Berjalan ke arah selatan, melewati jalan aspal yang tak terlalu lebar dan cenderung sepi, berbeda jauh dengan jalan raya yang kami temui di Jogja sana. Bahkan, kami sempat menemukan kera berlarian di salah satu sisi jalan, pemandangan unik yang jelas tidak akan kami temui di kota tempat kami menuntut ilmu. Perjalanan melaju ke arah selatan dan terus ke arah selatan hingga masuk Kecamatan Membalong, tepatnya di Desa Padang Kandis. Kami turun di sebuah dermaga yang begitu kecil dan sepi, tempat ini bernama Teluk Gembira, sebuah dermaga penghubung antara pulau yang akan kami tinggali dengan Pulau Belitung. 
Pertama kali tiba di dermaga Teluk Gembira.

Setelah sekitar setengah jam naik perahu, kami mulai melihat dermaga lain, sedikit lebih ramai daripada Teluk Gembira. Ada beberapa perahu nelayan merapat di dermaga itu. Ternyata, perahu kami pun turut merapat di situ. Kawan, sore itu adalah pertama kalinya saya dan teman-teman BBL-11 menginjakkan kaki di Pulau Seliu. Ketika berjalan dari dermaga memasuki gerbang selamat datang, kami tidak tahu masyarakat seperti apa yang akan kami hadapi, kami tidak tahu tempat seperti apa yang akan jadi rumah sementara kami, memang segala kegiatan dan kemungkinan telah coba kami persiapkan beberapa bulan terakhir, tapi tetap saja, kami tidak memiliki bayangan yang jelas tentang pulau kecil ini. Kami hanya tahu, apapun yang terjadi enam puluh hari nanti...harus kami hadapi. Kami hanya tahu, lima belas hari Ramadhan yang masih tersisa, akan begitu berbeda.
Teluk Gembira, hari kedua di Belitung.
I don't care about the outfit, about hitz. It's so damn hot here
and i have to belanja a lot of logistik in Pasar Tanjung Pandan hahaha.
Utamakan kenyamanan hihihi



Lima belas hari Ramadhan di Seliu yang begitu berkesan. Karena di bulan puasa kegiatan  belum terlalu padat, kami memutuskan untuk masak sendiri. Bersyukurlah, kami diperkenankan memasak menggunakan alat-alat milik desa. Dari awal, Tim BBL-11 yang berjumlah tiga puluh orang memang sudah dibagi menjadi enam kelompok masak. Laki-laki dan perempuan semua dilibatkan dalam memasak untuk sahur dan berbuka. Kami memasak dan makan bersama di dapur pondokan putri. Tak jarang, seorang tetangga sebelah pondokan bernama Bu Ros, datang ke pondokan untuk menawarkan bantuan. Beliau meminjamkan alat masak yang belum kami miliki dan tidak dimiliki desa, sesekali juga berbagi bumbu dapur. Ketika kami mendapat hadiah ikan laut segar dari para tetangga yang berprofesi sebagai nelayan, sementara kami tak tahu cara mengolah makanan laut, Bu Ros datang berbagi resep masakan pada kami. Bu Ros adalah ibu pertama kami di Seliu.
Setiap pukul empat sore dan setengah dua pagi, dapur belakang selalu agak ribut dipenuhi orang-orang yang sedang piket memasak. Tak jarang berbagai kelucuan atau keanehan terjadi ketika kami sedang memasak untuk 30 porsi sekaligus. Maklum, ini pertama kalinya bagi kami memasak untuk porsi sebanyak itu, dan tidak semua anggota tim berpengalaman memasak. Tapi karena kami bertiga puluh sama-sama merasakan repotnya memasak, disinilah kami belajar menghargai karya orang lain, masakan orang lain. Belajar bersyukur, menerima masakan apa adanya dan tidak banyak protes.
Suasana hangat di ruang makan pondokan putri bagi saya adalah suatu hal yang tak terlupakan. Kami duduk bersama, menikmati hidangan yang disajikan sesama teman sambil sesekali menceritakan kegiatan sehari tadi, atau bertukar canda satu sama lain. Rumah berdinding kayu dan beratap seng itu telah menjadi saksi indahnya kebersamaan kami Ramadhan tahun lalu.
Jarak pondokan yang dapat dikatakan sangat dekat dengan masjid, membuat kami seringkali memilih sholat fardhu berjamaah di masjid. Saya masih ingat suara-suara bacaan Al Qur'an yang kami lantunkan setelah sholat dhuhur atau sholat ashar. Masjid Nurul Iman, Pulau Seliu sekaligus menjadi tempat kami melepas lelah setelah berkegiatan. Seperti Rumah Allah lainnya, masjid ini memiliki kesejukan tersendiri, membuat kami betah berada di dalamnya. Maka, tak jarang beberapa di antara kami terlelap usai membaca Al Quran hehehe.
Ketika malam tiba, kami sholat tarawih diimami Kek Saleh, imam masjid sekaligus tetua kampung Seliu. Sesekali beberapa dari kami berbincang dengan beliau. Bahkan, pada malam Nuzulul Quran, Kek Saleh dan takmir masjid lainnya meminta perwakilan dari kami untuk menyampaikan sepatah dua patah kata tentang Nuzulul Quran, semacam ceramah singkat yang kala itu disampaikan oleh ketua kami, Vempi Satriya. Saya sendiri berkesempatan membacakan saritilawah setelah Imaduddin membaca ayat suci Al Quran. Kek Saleh meminta seluruh anggota tim datang pada malam itu, termasuk dua tema kami yang Nasrani dan Hindu. Suatu potret toleransi yang ada di Pulau Kecil ini.

Senja Ramadhan di dermaga Pulau Seliu.

Ramadhan tahun lalu jatuh pada musim kemarau, langit begitu cerah. Jika, sore hari sedang tak kebagian jadwal memasak, kami ngabuburit di dermaga Pulau Seliu. Berbagi cerita, bercanda baik dengan sesama rekan maupun para nelayan, sambil menikmati pemandangan matahari terbenam di dermaga. Bagi saya itu istimewa, saya selalu suka jenis sore cerah yang hangat, saat matahari bersinar kekuningan, dan Ramadhan tahun lalu saya selalu bisa menikmati sore indah seperti itu di dermaga, lengkap dengan suara debur ombak. Malam harinya pun cerah, kami bisa melihat dengan jelas gugusan bintang di langit Seliu. Pulau yang hanya dialiri listrik ketika malam hari ini cenderung 'redup', tidak banyak cahaya seperti perkotaan, membuat pemandangan langit malam selalu mempesona. Apalagi listrik di Seliu akan otomatis padam selama satu atau dua menit setiap pukul sepuluh, saat itulah bintang terlihat semakin jelas. Bersyukur, malam pertama kami di Seliu adalah bulan purnama. Saya sungguh jatuh hati pada pulau ini.

Karena malam cerah itulah, anak-anak Seliu sering berkumpul di perempatan nol kilometer Seliu ceritanya, yang tak lain tepat berada di samping pondokan putra. Di situ pula, Abang penjual telur gulung mangkal, jajanan favorit kami setiap habis tarawih. Selepas tarawih dan beberapa menikmati telur gulung, kami akan terbagi empat kelompok atau empat subprogram untuk membahas kegiatan atau program kami. Selain di pondokan, tak jarang kami rapat di dermaga sambil menyantap tekwan dan menikmati kopi, sambil sesekali berbincang dengan warga. Atau di warung Bu Yuyuk sambil melahap nasi goreng, atau juga di serambi masjid. Biasanya jam 11 atau 12 kami baru tidur, untuk esok pagi nanti terbangun oleh suara berisik pemuda Seliu membangunkan sahur dengan membunyikan aneka jenis benda hahaha.


But we have a gloomy sunset, too.
Tanjung Marangbulo, Juli 2015.
Hhhh...maaf saya tak menyangka ternyata tulisan nostalgia ini menjadi postingan yang cukup panjang. Yaa...Ramadhan di Seliu memang terlalu berkesan untuk diceritakan dengan satu dua patah kata. Itulah salah satu Ramadhan indah yang saya lalui bersama keluarga BBL-11. Kami menutup hari terakhir Ramadhan dengan membuat ketupat bersama-sama di rumah Bu Ros dan Pak Fadla, yang begitu baik hati mengajak kami membuat ketupat dan menghidangkan opor ayam untuk kami.
Terimakasih Yaa Allah, untuk Ramadhan tahun lalu dan kesempatan bertemu lagi pada Ramadhan tahun ini. Terimakasih Seliu dan segenap warganya yang ramah dan telah beitu baik pada kami, untuk Ramadhan penuh kesan setahun yang lalu. Salam rindu dari kami.

Magelang, 30 Juni 2016
KKN tepat setahun lalu, selamat berbaper ria :P

You May Also Like

0 comments