Let's Hike Safely!

by - April 20, 2015

Akhir-akhir ini banyak orang yang mendadak "mencintai alam". Bukan, bukan karena do something yang kemudian berefek pada penyelematan lingkungan, dsb tapi lebih diidentikkan dengan melakukan kegiatan “mendaki gunung”. Yaa, tiba-tiba saja banyak sekali orang yang mendaki gunung. Hipotesis saya, hal itu terjadi mungkin karena efek film 5 cm yang diputar di bioskop-bioskop sekitar tahun 2013 lalu. Padahal dari film itu ditemukan beberapa kejanggalan (Baca: Kritik Film 5 cm) Saya mungkin salah satu diantara yang terjebak euforia 5 cm hehe.
Picture from Google

Saya bukan pendaki gunung. Meskipun saya sangat tertarik dengan hobi itu sejak tahun 2009, tapi saat itu ibu tidak mengizinkan saya ikut Glacial (Gladiool Pecinta Alam, organisasi pecinta alam di SMA saya). Tahun 2010 saya minta izin ke Ibu lagi untuk ikut Glacial, tapi lagi-lagi Ibu tidak mengizinkan. Saya pun bergabung dengan organisasi jurnalistik di sekolah, namanya Sibema. Nah, di Sibema kami sering mendapat surat untuk meliput acara organisasi lain. Saya ditawari tugas meliput acara rutin Glacial yang bernama Pepat (Pendakian Awal Tahun) yang berarti saya harus turut dalam pendakian tersebut. Dua kali penawaran untuk meliput dua kali Pepat, tapi lagi dan lagi Ibu tidak mengizinkan. Ketika kuliah, akhirnya Ibu mengizinkan saya bergabung dengan organisasi pecinta alam jurusan, Kapilawastu. Tapi karena suatu hal saya memtuskan resign. Meski begitu atas seizin Ibu saya akhirnya diperbolehkan mendaki gunung bersama teman-teman saya yang sudah lebih berpengalaman. Yaa intinya saya bukan pendaki gunung. Saya cuma pernah naik gunung dan saya ingin berbagi sesuatu.


Related post: Kunanti Restumu, Ibu! (Sebuah tulisan yang masa SMA)

Pernah nonton film lama yang berjudul Vertical Limit? Bagi saya, ada pesan menarik yang disampaikan melalui adegan pembuka film. Dimana sekelompok pemanjat tebing jatuh bahkan beberapa tewas karena kelalaian salah seorang dari mereka. Ya, digambarkan ada seorang pemanjat amatir yang "sok-sok'an", dia hanya memasang satu penambat pada tebing padahal pendaki profesional memasang dua bahkan tiga penambat demi keamanan. Nah, malang bagi si pendaki amatir ketika satu-satunya penambat yang dipasang lepas, ia pun terjatuh. Akibatnya ia menyeret pendaki lain yang berada paralel dalam satu tali dengannya terjatuh, bahkan beberapa tewas. Dari situ saya belajar bahwa dalam melakukan "penjelajahan alam" kita tidak boleh merasa sok bisa dan kita seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.

Baiklah, tulisan ini tidak akan mereview lebih jauh tentang film Vertical Limit. Saya hanya ingin sedikit berbagi semampu saya tentang suatu hal.
Beberapa waktu lalu, guru SMA saya yang tak lain adalah Pembina Glacial menulis status di Facebook, demikian:


Apa yang diucapkan Pak Tatak ada benarnya juga. Saat ini banyak yang mendaki gunung tanpa mementingkan keselamatan dan kurang persiapan. Saya sendiri punya prinsip-prinsip dalam mendaki gunung. Paling tidak prinsip ini adalah pegangan buat saya sendiri, tapi di sini saya ingin berbagi siapa tau kalian juga ingin melakukan hal yang sama hehe. Prinsip-prinsip itu adalah:

Never hike alone

Saya pernah membaca sebuah cerita di bukunya Andi F. Noya yang menceritakan kehidupan penyelam. Ada kata menarik yang ditulis penyelam yang diundang Andy dalam talkshow yang dibawakannya, yaitu bahwa prinsip dasar meyelam adalah Never dive alone! Senada dengan itu, saya memutuskan untuk never hike alone. Selain demi keselamatan biar kalau ada apa-apa bisa saling membantu, bagi saya mendaki juga tentang berbagi bersama kawan-kawan, quality time bersama mereka. Meskipun saya pernah menjumpai orang yang mendaki sendirian, mereka pasti juga punya alasan tersendiri untuk itu kan? Tapi kalo saya, mendaki jangan sendiri.


Persiapan fisik sebelum mendaki

Mendaki gunung membutuhkan kondisi fisik yang prima. Karena kita akan berjalan ber-jam-jam dengan membawa ransel besar di punggung dan menghadapi suhu yang lebih rendah daripada biasanya. Karenanya, menurut saya pendaki harus benar-benar dalam keadaan sehat dan sudah latihan fisik seperti lari, push-up, sit-up, dll beberapa hari sebelum pendakian agar nanti badannya nggak "kaget". Apalagi buat orang yang jarang olahraga kayak saya hehe. Ibu saya selalu bilang "Latihan fisik yang bener biar nggak ngerepotin temen-temenmu di gunung nanti." Well-said. Mom! :* Katakanlah leader saya menyarankan latihan fisik tujuh hari sebelum pendakian, saya akan menambah latihan jadi sepuluh atau bahkan dua minggu sebelum hari-H biar lebih mantap aja heheh. Menurut saya latihan nggak perlu ngoyo asal ajeg, karena kalo ngoyo bisa-bisa malah sakit menjelang pendakian.

Sedikit cerita, saya punya teman pendaki. Suatu kali, ia naik Lawu tanpa persiapan fisik sama sekali. Ketika naik dia baik-baik saja. Namun ketika turun, sejak dari Hargo Dumilah hingga basecamp kakinya terus menerus kram. Ia kesulitan berjalan, bahkan carrier-nya pun dibawakan salah seorang temannya. Itulah salah satu contoh akibat kalau mendaki tanpa persiapan fisik yang matang.

Bawa bekal yang cukup

Bekal disini nggak cuma bekal makanan, tapi juga obat-obatan, dan pakaian. Ingatlah di gunung itu... we only own what we can carry. Yaa cuma yang bisa kita bawa itu lah yang kita punya. Perhitungkanlah dengan baik makanan, obat, dan pakaian yang bakal kita butuhkan selama pendakian. Sebisa mungkin jangan sampai kurang dan jangan terlalu kelebihan karena akan memberatkan. Jangan mengandalkan orang lain, "Ah nanti minta temen pasti ada yang bawa." Menurutku, jangan punya pikiran kayak gitu. Kita harus mandiri dan modal dikitlah haha. Kalo ada hal buruk terjadi, misal tersesat sendirian, kita cuma bisa survive dengan bekal yang kita bawa kan sembari menunggu penyelamat datang. So, usahakan bekal yang kita bawa cukup.

Packing tips.
Pernah suatu kali saya membawa bekal air dua liter, padahal leader menyarankan untuk membawa tiga liter. Saya orangnya emang nggak terlalu banyak minum. Bekal minum saya selalu sisa, jadi saya pikir dua liter cukup untuk pendakian itu. Ketika leader pendakian mengetahui saya hanya membawa air segitu, dia galak memarahi saya dan menyuruh saya membeli air lagi. Saya pun menuruti karena saya takut terjadi apa-apa hehe.

Use the proper equipments

Ini juga sangat penting, alat-alat kelompok maupun individu yang hendak dibawa mendaki harus dicek, pastikan semuanya dalam keadaan baik. Persiapkan semuanya sebaik-baiknya karena di gunung nggak kayak di rumah hehe. Perkirakan alat apa saja yang bakal dibutuhkan. Tenda misalnya, menurut saya ini termasuk peralatan standar yang harus dibawa. Apalagi saya amatir. Entah nanti tenda akan dipakai atau tidak, bagi saya ini tetap penting. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di atas. Tapi paling tidak, kita sudah mempersiapkan.  "Kalau misal ada kawan yang sakit dan harus istirahat sejenak, mau gimana kalo nggak bawa tenda? Tegakah dititipkan ke tenda pendaki lain? Kalau aku kok rasanya kurang nyaman. Nggak enak sama kawan sendiri. Nggak enak sama pendaki lain juga." Demikian seorang pendaki pernah berkata kepada saya. Meskipun ada pendaki yang naik lalu sampai puncak turun lagi, tanpa nge-camp kalau pemikiran saya tenda tetap perlu dibawa demi alasan keselamatan. Alas kaki yang nyaman dan nggak licin juga penting diperhatikan karena mendaki itu aktivitas utama kita jalan kaki, jadi butuh sepatu yang well. Begitu juga alat-alat lainnya.

Peluit dari ibuk di pergelangan tangan saya

Mmm tahukah kalian? Ibu saya selalu membekali saya dengan peluit pada gelang ketika saya hendak mendaki gunung, agar jika saya terpisah dari teman-teman saya bisa memberi kode dengan peluit itu. Ibu saya memang kadang alay dalam melindungi saya, tapi apa yang dilakukan Ibu ada benarnya juga kan? Hal kecil yang bisa bermanfaat besar :')

Jangan lupakan kewajiban kepada Tuhan

Mendaki gunung mestinya adalah sarana kita menyaksikan "karya" Tuhan, mendekat pada-Nya. Makanya jangan sampai justru membuat kita lalai pada kewajiban kita. Saya sebagai umat Islam, tentu saja Sholat yang saya maksudkan disini. Menurut saya, pendaki juga jangan lupa sholat. Kita harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang cara bersuci dan sholat di tempat sepeti itu, menurut saya hal tersebut tidak bisa disepelekan. Selain itu juga jangan lupa berdoa. Ibu saya selalu berpesan agar jangan terlalu asyik kalau tengah berada di gunung, doa-doa harus selalu dipanjatkan. Karena "tidak ada daya dan upaya kecuali atas izin Allah SWT."

Picture from Google.
Lagi-lagi sedikit cerita, suatu hari pernah ada rencana mendaki hari Kamis lalu turun hari Jumat sebelum sholat Jumat. Tapi, saya menolak jadwal tersebut. Memang kalau sesuai rundown kami bakal sampai basecamp lagi sekitar satu jam sebelum Sholat Jumat. Tapi, saya khawatir pada praktiknya kami akan finish satu atau dua jam dari yang diperkirakan yang mengakibatkan kaum lelaki jadi bolos sholat Jumat. Saya menolak jadwal tersebut dan mengsulkan hari lain agar jangan sampai mendaki jadi alasan buat bolos sholat Jumat. Bukannya sok alim atau gimana, saya ggak cuma takut Allah 'marah' dan terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Who knows, kan?

Knowledge

Menurut saya mendaki gunung pasti ada ilmunya. Ada baiknya kita tanya-tanya dulu ke orang yang lebih berengalaman tentang tips mendaki atau browsing dari internet. Pengetahuan tentang gunung yang akan didaki juga penting agar kita ada gambaran disana kayak apa baik kondisi alam maupun rutenya. Selain itu yang nggak kalah penting adalah membekali diri dengan pengetahuan tata cara survival dasar dan P3K dasar buat jaga-jaga. Browsing aja di google banyak atau tanya ke anak kesehatan atau baca buku. Jangan mengandalkan orang lain melakukan P3K buat kita hehe. Kalo posisi kita yang harus nolong temen kita dan kita nggak bisa apa-apa kan nyesel banget.

Sopan Santun

Mendaki gunung juga butuh sikap-sikap yang baik. Sopan santun ke sesama pendaki harus dijaga. Jangan berkata kotor dan jangan ngeluh. Sopan santun ke alam pun harus ada.

These three rules are a must: 
Take nothing but picture, 
left nothing but footprint, and 
kill nothing but time. 
Jangan ngerusak alam, jangan vandal, dan jangan nyampah. Trus juga perlu diingat, kita hidup berdampingan sama makhluk-makhluk ciptaan Allah baik yang seen maupun unseen.(You know what i mean lah yaa). Jadi sopan santun tetep perlu diajaga jangan sampai mengganggu makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dan jangan sombong sok-sok bisa, dll. Ingat selalu kita begitu kecil di hadapan-Nya :)

Izin

Perkara izin juga nggak kalah penting, izin sama orang tua terutama. Saya sendiri adalah orang yang sangat percaya dengan the power of doa ibu hehe. Bagi saya perjalanan kemanapun harus diiringi restu dan doa orang tua, kalo nggak saya takut kualat. Begitu pula dalam mendaki gunung, kalau Ibu nggak mengizinkan yaa saya nggak berangkat. Selain izin orang tua menurut saya kita juga harus lapor ke basecamp jangan main nyelonong aja apalagi nggak lewat jalur resmi, karena lagi-lagi kalau terjadi sesuatu pada kita bisa-bisa nggak ada orang yang tahu karena kita nggak izin ke basecamp. 


Another tips from survivalistalerts.com


So, restu orang tua, perizinan ke basecamp, dan jangan keluar jalur ini juga jadi hal yang nggak boleh dilewatkan.


Mmm...itu aja sih yang bisa saya bagi tentang mendaki gunung berdasarkan prinsip-prinsip pribadi. Bukannya negative thinking dengan apa yang akan terjadi di gunung, hanya saja kita perlu mempersiapkan segala sesuatu sebaik-baiknya. Karena persiapan adalah setengah keberhasilan. Stay positive, tapi jangan bodoh. Intinya dalam mendaki gunung everything should be well-prepared. Iya semuanya, hatinya, fisiknya, bekalnya, knowledge-nyaSaya memang bukan pendaki profesional, tapi semoga bermanfaat buat pembaca semua. Dari tulisan itu monggo diambil baiknya dan dihindari buruknya. Maaf kalau tulisan ini ada salah-salahnya :))

Mt. Lawu, September 27, 2014
Taken by Danny Saputra, Edited by Nurul Latifah

Selamat menaklukkan atap-atap bumi, kawan. Let's hike safely!! :)

Magelang, 19 April 2015
Terimakasih kepada para pendaki 
yang menginspirasi saya menulis ini
Terimaksih atas nasehat dan kisahnya

You May Also Like

0 comments